Adv. Aslam Syah Muda SHI,CT NNL,"Tuntutan 10 Tahun dan Denda 100 juta Terhadap Kejahatan Seksual Berat Dinilai Tidak Proporsional

Editor: Admin author photo

Cikarang ( Media Polmas )- Sidang kasus kejahatan seksual berat terhadap anak dengan terdakwa "Bhuba BIN Santoso"di Pengadilan Negeri Cikarang yang pada sebelumnya sempat menjadi DPO selama kurang lebih 1 tahun lamanya dan perkara ini kembali menuai kritik keras dari kuasa hukum korban dan masyarakat pemerhati keadilan anak.

Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) hanya menuntut pidana penjara 10 (sepuluh) tahun, kini sidang yang awalnya diinformasikan sebagai agenda pembacaan putusan hari Selasa (1 Juli 2025), justru kembali diundur dengan alasan masih dalam tahap pembacaan pledoi (pembelaan terdakwa) oleh penasehat hukum terdakwa.

Informasi yang diterima keluarga korban, melalui  pesan dari JPU sebelumnya menyebutkan bahwa agenda sidang hari ini adalah putusan, namun ternyata berubah di menit-menit terakhir. Perubahan mendadak ini menambah tekanan psikologis bagi korban dan keluarga, karena kasus ini sempat berjalan 3 tahun sampai ditemukannya terdakwa yang berstatus DPO (daftar pencarian orang) oleh PPA Polres Metro Bekasi yang sejak awal sudah terpuruk akibat perbuatan terdakwa.

*Tuntutan Rendah, Ancaman Hukum Maksimal: Ketimpangan Penegakan Hukum*

Terdakwa didakwa melanggar Pasal 82 Ayat (2) jo Pasal 76E UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana diubah dengan UU No. 17 Tahun 2016. Undang-undang ini mengatur ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

Fakta hukum di persidangan mengungkapkan bahwa:

1. Perbuatan dilakukan berulang kali (multiple acts);

2. Dilakukan terhadap anak di bawah umur;

3. Mengakibatkan korban hamil dan melahirkan bayi;

4. Terdakwa menggunakan tipu muslihat dan manipulasi psikologis

Namun, JPU hanya menuntut hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 100.000.000 (seratus juta  rupiah) subsidair 3 bulan kurungan, sebuah jumlah yang jauh dari semangat dan penegakan hukum

*Analisis Hukum: Dimana Keberpihakan Negara terhadap Korban Anak?*

Menurut praktisi hukum Aslam Syah Muda, S.H.I., CT.NNLP,selaku Penasehat  hukum korban, tuntutan ini dinilai sangat mencederai rasa keadilan masyarakat, terutama dalam konteks perlindungan anak.

"Tuntutan denda 100 juta dalam perkara sebesar ini sungguh tidak proporsional. Undang-Undang jelas mengatur denda hingga Rp 5 miliar. Kalau hanya 100 juta, ini sama saja dengan melecehkan penderitaan korban anak yang sudah mengalami trauma fisik, psikis, sosial, dan masa depan yang hancur,”tegas Aslam Syah.

Lebih jauh, Aslam syah menambahkan bahwa dalam konteks asas ultimum remedium dalam hukum pidana anak, seharusnya setiap instrumen sanksi—baik pidana badan maupun denda—harus diarahkan untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan memberikan perlindungan maksimal kepada korban.

Tim Advokasi dan Penasehat hukum korban dengan tegas mendesak Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cikarang agar tidak terpaku pada batasan rendah tuntutan jaksa, tetapi menggali rasa keadilan materil berdasarkan fakta-fakta persidangan dan mandat perlindungan anak dalam hukum nasional maupun konvensi internasional.

“Kami mendesak majelis hakim menjatuhkan vonis lebih berat dari tuntutan jaksa. Minimal 10 tahun atau lebih, dengan denda yang proporsional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Kalau vonis jatuh di bawah 10 tahun, maka ini adalah kemunduran serius dalam penegakan hukum perlindungan anak di Indonesia,”_ pungkas PSF. Parulian Hutahaean (ketua tim advokasi)

Apabila majelis hakim nantinya memutus vonis yang lebih rendah dari 10 tahun atau denda yang tidak proporsional, tim hukum korban berkomitmen akan mengambil langkah hukum dan advokasi lanjutan, antara lain:

1. Mengajukan laporan ke Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas Kejaksaan Agung RI) terkait lemahnya penuntutan.

2. Mengadukan ke Komnas Perlindungan Anak dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

3. Membuka ruang advokasi publik, termasuk konferensi pers nasional.

4. Mempertimbangkan pengajuan banding atau upaya hukum lainnya bila putusan dianggap mencederai hak-hak korban anak.

“Kami tidak akan berhenti sampai keadilan untuk korban benar-benar ditegakkan. Negara tidak boleh membiarkan anak-anak menjadi korban berlapis, baik oleh pelaku maupun oleh proses hukum yang lemah,”_ pungkas Aslam Syah. ( Tim )

Share:
Komentar

Berita Terkini