Meluruskan Sejarah BATAK di Sumatera Utara, Menuju Masyarakat Yang Inklusif dan Setara

Editor: Admin author photo
Oleh: Anna Martyna Sinamo 

Pendahuluan

Di Provinsi Sumatera Utara, istilah “Batak” telah lama menjadi bagian dari narasi identitas etnis yang dominan, sering kali digunakan untuk merangkum keragaman budaya di wilayah Tapanuli, Sumatera Timur dan sekitarnya. 

Namun, pemahaman ini memerlukan pelurusan historis yang mendalam. “Batak” bukanlah nama suku tunggal yang homogen, melainkan label kolektif yang dikonstruksi oleh pihak luar—terutama selama era pra-kolonial dan diperkuat oleh penjajah Belanda—untuk menggambarkan kelompok-kelompok etnis yang berbeda, yaitu Pakpak, Karo, Mandailing, Simalungun, Angkola, dan Toba. 

Konstruksi ini tidak hanya menyederhanakan kompleksitas identitas lokal, tetapi juga membawa implikasi sosial yang berkelanjutan, seperti stereotip dan marginalisasi. 

Meluruskan sejarah ini krusial untuk membangun masyarakat yang inklusif dan setara, di mana keragaman etnis diakui sebagai kekuatan, bukan penghalang. 

Asal-Usul Label “Batak” sebagai Konstruksi Kolonial

Istilah “Batak” pertama kali muncul sebagai istilah kenyamanan yang diciptakan oleh pemukim Melayu etnis di wilayah Sumatra Utara untuk merujuk pada kelompok-kelompok non-Muslim yang mendiami dataran tinggi, kemungkinan sejak masa pra-kolonial. 

Namun, label ini semakin dikukuhkan selama periode kolonial Belanda (abad ke-19 hingga awal abad ke-20), ketika administrasi kolonial membutuhkan kategorisasi sederhana untuk mengelola wilayah yang luas dan beragam. 

Penjajah Belanda, melalui ekspedisi dan misi Kristen seperti Rheinische Mission, menggunakan “Batak” sebagai payung untuk enam kelompok etnis utama: Toba (terpusat di sekitar Danau Toba), Karo (di Tanah Karo), Pakpak (di Dairi dan Pakpak Bharat), Simalungun (di Simalungun), Angkola (di Tapanuli Selatan), dan Mandailing (di Tapanuli Utara dan Selatan). 

Konstruksi ini instrumental bagi hegemoni kolonial, karena memudahkan pemetaan administratif, penyebaran agama, dan eksploitasi sumber daya, sambil sering kali melekatkan stereotip negatif seperti kanibalisme pada kelompok-kelompok ini.

Di Tapanuli, yang menjadi pusat utama kelompok Angkola dan Mandailing, label “Batak” sering kali mengaburkan perbedaan budaya dan sejarah mereka. Misalnya, Mandailing dan Angkola memiliki tradisi Islam yang kuat sejak abad ke-17, yang membedakan mereka dari kelompok Kristen seperti Toba, tetapi kolonial Belanda cenderung menggeneralisasi mereka di bawah satu identitas untuk tujuan administratif. 

Hal ini terlihat dalam laporan kolonial yang menggambarkan “Batak” sebagai entitas tunggal yang “primitif”, yang pada akhirnya memengaruhi persepsi pasca-kolonial di Sumatera Utara.

Keragaman Etnis di Balik Label: Identitas Pakpak, Karo, Mandailing, Simalungun, Angkola, dan Toba

Label “Batak” menyembunyikan keragaman yang kaya dari enam kelompok etnis tersebut, masing-masing dengan bahasa, adat istiadat, dan sistem kekerabatan yang unik. 

Kelompok Toba, misalnya, dikenal dengan tarombo  dan sistem marga patrilineal yang ketat, sementara Karo memiliki struktur keluarga yang lebih egaliter dengan konsep kalimbubu dan anak beru yang disebut Sangkep Ngelluh. Pakpak menonjolkan Suak, Marga dan lebbuh yang membedakan satu kelompok dengan kelompok lainnya, sedangkan Simalungun memiliki bentuk Kerajaan yang masih terus dipertahankan dengan pemilikan tanah partuanon dan swapraja. Angkola dan Mandailing, yang sering kali diidentikkan dengan pengaruh Islam, memiliki sejarah migrasi dan perdagangan yang membedakan mereka dari kelompok pedalaman lainnya.

Penggunaan label kolektif “Batak” telah menyebabkan hilangnya pengakuan atas identitas spesifik ini, yang pada gilirannya memperburuk ketegangan etnis, seperti konflik antar-marga atau diskriminasi terhadap kelompok minor seperti Pakpak di tengah dominasi narasi Toba-sentris.

Dampak Historis dan Tantangan Kontemporer di Tapanuli dan Sumatera Utara

Sejarah kolonial telah meninggalkan warisan yang kompleks di Tapanuli dan Sumatera Utara. Label “Batak” memfasilitasi penyebaran Kristen di kalangan Toba  melalui misi Belanda, tetapi juga memicu resistensi di kalangan Mandailing yang lebih Islami. 

Di era pasca-kolonial, konstruksi ini dipertahankan oleh pemerintah Indonesia untuk keperluan sensus dan pembangunan, yang sering kali mengabaikan aspirasi lokal. Akibatnya, isu seperti akses tanah adat, representasi politik, dan pendidikan budaya menjadi sumber ketidaksetaraan. 

Menuju Masyarakat Inklusif dan Setara: Rekomendasi

Untuk meluruskan sejarah dan membangun inklusivitas, diperlukan pendekatan multidimensi. Pertama, pendidikan sejarah harus menekankan identitas terpisah dari enam kelompok, melalui kurikulum sekolah dan museum di Sumatera Utara. 

Kedua, kebijakan pemerintah provinsi dapat mendukung festival budaya multi-etnis di Sumatera Utara tanpa melabel mereka Batak sesuai UU No 8 Tahun 2023. 

Ketiga, dialog antar-marga dan lintas-agama harus difasilitasi untuk mengatasi stereotip kolonial. Dengan demikian, Sumatera Utara dapat menjadi model masyarakat yang setara, di mana label “Batak” diganti dengan narasi keragaman yang memberdayakan.

Kesimpulan

Meluruskan sejarah “Batak” sebagai label kolonial adalah langkah esensial menuju masyarakat Sumatera Utara yang inklusif. Dengan mengakui Pakpak, Karo, Mandailing, Simalungun, Angkola, dan Batak Toba sebagai entitas mandiri, kita tidak hanya menghormati warisan historis, tetapi juga membangun fondasi kesetaraan sosial. 

Upaya ini memerlukan komitmen kolektif dari pemerintah, akademisi, dan masyarakat untuk melepaskan belenggu konstruksi masa lalu dan merangkul masa depan yang beragam.(An.S/MP)

Share:
Komentar

Berita Terkini