BATAK ADALAH ELUSIVE IDENTITAS (IDENTITAS YANG KABUR) BAGI PAKPAK, KARO, SIMALUNGUN, ANGKOLA & MANDAILING

Editor: Admin author photo

 Oleh: Anna Martyna     Sinamo,S.Psi.M.Psi, M.Hum

Pendahuluan

Dalam diskursus etnis di Indonesia, istilah “Batak” sering kali digunakan secara longgar untuk merujuk pada kelompok masyarakat di Sumatera Utara yang beragam. Namun, di balik keseragaman ini tersembunyi sebuah identitas yang kabur—elusive—yang sulit didefinisikan secara tegas. 

Istilah ini, yang lahir dari perspektif eksternal seperti penjelajah Eropa, awalnya hanya merujuk pada masyarakat di sekitar Danau Toba, yaitu suku Batak Toba. Seiring waktu, label ini diperluas secara paksa untuk mencakup suku-suku lain seperti Karo, Simalungun, Pakpak, Mandailing, dan Angkola, meskipun perbedaan budaya, bahasa, dan sejarah mereka begitu mencolok. 

Artikel ini menekankan bahwa identitas “Batak” hanya benar-benar cocok untuk Batak Toba, sementara bagi suku lainnya, label tersebut justru menciptakan kebingungan dan fragmentasi etnis. Dengan demikian, “Batak” menjadi simbol identitas yang kabur, di mana keragaman justru terpinggirkan oleh dominasi narasi Toba.

Sejarah Pembentukan Istilah Batak: Dari Label Eksternal ke Identitas Kolektif yang Dipaksakan

Secara historis, istilah “Batak” pertama kali muncul pada abad ke-17 melalui catatan penjelajah Eropa, yang menggunakannya untuk menggambarkan masyarakat pedalaman Sumatera Utara, khususnya di sekitar Danau Toba. Label ini bukanlah self-identification dari masyarakat setempat, melainkan konstruksi kolonial yang bertujuan memisahkan mereka dari suku-suku pesisir seperti Melayu atau Aceh. 

Pada era kolonial Belanda, wilayah “Bataklanden” dibentuk, yang semakin memperkuat persepsi Batak sebagai entitas tunggal, meskipun Mandailing dan Angkola sudah terpengaruh Islam melalui Kerajaan Pagaruyung.

Sebelum abad ke-20, tidak ada kesadaran etnis koheren di antara mereka. Migrasi dari Minangkabau, Tamil, dan pengaruh perdagangan kapur barus di Barus semakin memperumit akar usul, membuat identitas Batak Toba sebagai “inti” terasa sempit dan kolonial, bagi suku-suku lainnya. 

Untuk memperkaya pemahaman tentang pembentukan istilah Batak sebagai konstruksi eksternal yang memaksakan kesatuan palsu, berikut adalah contoh historis spesifik yang menyoroti perbedaan identitas tersebut. Contoh-contoh ini menegaskan bagaimana pengaruh eksternal seperti invasi dan konversi agama justru memperlemah ikatan etnis, membuat label Batak hanya relevan bagi Toba.

Salah satu contoh paling mencolok adalah Perang Padri (1803–1837), di mana kelompok Padri dari Minangkabau yang mempromosikan Islam puritan menyerbu wilayah Mandailing di selatan Sumatera Utara. Invasi ini memaksa ribuan Mandailing untuk berpindah agama secara paksa, menolak iman Batak tradisional yang bersifat animisme dan memeluk Islam sebagai bagian dari asimilasi ke budaya Minangkabau. 

Akibatnya, Mandailing dan sub-grup terkait seperti Angkola kehilangan sebagian besar identitas budaya Batak mereka, termasuk adat istiadat dan bahasa ritual, serta secara sadar menyangkal hubungan dengan kelompok Batak lain—hanya mempertahankan sistem marga sebagai sisa warisan. 

Bahkan setelah perang, migran Mandailing ke Malaysia (pasca-Perang Padri) justru merangkul identitas Melayu tanpa keberatan, menandai pemisahan permanen dari narasi Batak yang didominasi Toba. Peristiwa ini tidak hanya memecah belah “Bataklanden” secara geografis, tetapi juga secara identitas, di mana bagian selatan menjadi entitas Muslim yang terpisah, sementara Toba tetap mempertahankan mitologi pra-Islam mereka.

Contoh lain adalah konversi awal abad ke-19 di kalangan Karo, di mana konflik dengan Minangkabau Islam menyebabkan sebagian Karo beralih agama dan kemudian mengidentifikasi diri sebagai Melayu untuk menghindari stigma Batak pedalaman yang dianggap “primitif” oleh masyarakat pesisir. Pengaruh ini diperkuat oleh struktur politik Karo yang independen, dengan pemimpin sibayak yang mengelola wilayah secara otonom tanpa kaitan dengan Toba, sehingga mempertahankan bahasa dan sistem kekerabatan Rakut Sitelu yang berbeda dengan Dalihan Natolu. 

Sementara itu, Simalungun menunjukkan otonomi historis melalui pengaruh Kesultanan Aceh pada abad ke-16–17, di mana empat kerajaan Simalungun (Pematang Purba, Dolok Silou, Raya, dan Nagur) diatur oleh raja-raja yang menciptakan identitas feodal yang terpisah dari mitos Si Raja Batak di Toba. Pusaka dan ahap  Simalungun yang berfokus pada asal lokal ini, tanpa referensi genealogis ke Pusuk Buhit, semakin menegaskan penolakan implisit terhadap payung Batak.

Contoh-contoh ini mengilustrasikan bagaimana peristiwa historis seperti Perang Padri dan pengaruh Aceh menciptakan jurang identitas yang tak terjembatani, di mana suku non-Toba seperti Mandailing, Karo, dan Simalungun memilih jalan mandiri daripada bergabung dalam label Batak yang dipaksakan oleh perspektif kolonial Belanda pada akhir abad ke-19.

Mengapa Batak Hanya Cocok untuk Toba

Keberagaman suku-suku ini  menjadikan istilah Batak  kabur bagi non-Toba. Batak Toba, yang bermukim di wilayah Danau Toba seperti Samosir dan Tapanuli Utara, memiliki mitologi pusat dari Si Raja Batak di Pusuk Buhit sejak abad ke-13, yang menjadi fondasi identitas mereka. Marga-marga Toba disatukan dalam tarombo siraja batak  diklaim sebagai keturunan langsung, dengan adat Dalihan Na Tolu yang ketat: hula-hula (pihak istri), dongan tubu (saudara semarga), dan boru (pihak pengantin pria). 

Bahasa Toba, aksara Pustaha, dan salam “Horas!” menjadi ikon eksklusif mereka.

Sebaliknya, suku lain menolak label ini karena perbedaan mendasar. Suku Karo, misalnya, memiliki sistem Rakut Sitelu yang mirip tapi varian berbeda makna karena tidak bisa berjalan hanya (kalimbubu, senina, anak beru) harus bersama sangkep ngelluh lainnya.  Bahasa  yang berbeda secara fonologis—seperti /h/ menjadi /k/ (hata menjadi kata). Adat pernikahan Karo memerlukan dua pesta jika melibatkan Toba, menandakan ketidakselarasan. 

Historisnya, Karo berasal dari migrasi Tamil abad ke-11, bukan dari Toba, dan penelitian DNA menunjukkan keragaman genetik tinggi (0,7314 untuk Karo vs. 0,8637 untuk Toba). 

Demikian pula, Simalungun memiliki tarombo sendiri dari Kerajaan Nagur dan Raya (abad VI), dengan marga Saragih berasal dari panglima lokal, bukan Parna Toba. Pusaka kuno mereka tidak menyebut asal Toba, dan kerajaan Simalungun bahkan mewajibkan marga pendatang harus masuk dalam 4 kelompok marga Sisadapur dan mengusir marga non-lokal yang tidak mau bergabung. 

Pakpak dan Mandailing semakin memperkuat argumen ini. Pakpak memiliki marga Sipajek rube dan rading berru disetiap suak dan setiap marga wajib memiliki lebbuh  tanpa kaitan Toba. Sistem Kekerabatan menggunakan Sulang Silima dan tidak bisa disederhanakan menjadi “daliken sitellu” karena Sulang Silima adalah dasar hukum adat istiadat, tanah ulayat dan waris. 

Mandailing dipengaruhi Islam kuat dan identitas kerajaan mereka sendiri. Angkola, meski berbagi tarombo dengan Toba dan Mandailing, lebih dekat dengan pengaruh Minangkabau. Penelitian linguistik menegaskan kekerabatan proto-Austronesia yang sama, tapi divergensi geografis dan historis membuat perkembangan terpisah—60-70% kosakata serumpun, tapi semantik dan morfologi berbeda. 

Akibatnya, suku non-Toba merasa termarjinalkan, dengan gerakan budaya modern yang menolak “Batak” untuk menghindari superioritas Toba.

Fenomena “Senjakala Batak” mencerminkan kaburnya identitas ini: suku-suku seperti Karo, Pakpak, Simalungun, dan Mandailing mulai kembali ke akar asli, meninggalkan label Batak hanya untuk Toba. Konflik ini terlihat di Medan melalui persaingan politik-ekonomi, di mana utara Tapanuli menuntut identitas luas, sementara selatan menolak demi Mandailing. Identitas Batak Toba, yang didukung misi Kristen sejak 1861, menjadi dominan, tapi justru memperlemah kohesi etnis secara keseluruhan.

Kesimpulan

Identitas “Batak” adalah elusive—kabur dan sulit digenggam—karena lahir dari generalisasi eksternal yang mengabaikan keragaman internal. Hanya Batak Toba yang secara uni vokal mengakui dan memeliharanya, dengan mitologi, adat, dan sejarah yang koheren. 

Bagi suku lain, label ini menciptakan fragmentasi, di mana persamaan marga hanyalah hasil migrasi dan pembauran, bukan ikatan genealogis murni. Dalam konteks identitas etnis yang kabur ini, tanpa penggunaan kata “Batak” sebagai payung kolektif, identitas Pakpak, Karo, Simalungun, Angkola, dan Mandailing justru menjadi lebih jelas dan mandiri. 

Penolakan terhadap label Batak oleh kelompok-kelompok ini—seperti yang terlihat dalam gerakan “Senjakala Batak”—memungkinkan mereka untuk menekankan keunikan budaya, sejarah, dan adat istiadat masing-masing tanpa bayang-bayang dominasi narasi Toba. 

Dengan demikian, pelepasan dari istilah Batak bukanlah disintegrasi, melainkan pembebasan yang memperkuat kohesi internal dan menghindari fragmentasi yang disebabkan oleh generalisasi kolonial. 

Di era pasca-kolonial, pengakuan ini penting untuk menghormati otonomi budaya: biarkan Batak tetap untuk Toba sesuai UU No 8 Tahun 2023, sementara Karo, Simalungun, Pakpak, Angkola, Mandailing bersinar dalam identitas asli mereka. Hanya dengan demikian, keragaman Sumatera Utara dapat dirayakan tanpa kebingungan.(***)

Share:
Komentar

Berita Terkini