Nampak Tilas Perjuangan Sisinga Mangaraja XII di Tanah Pakpak

Editor: Admin author photo

MEDIA POLMAS

Oleh: Anna Martyna Sinamo

Pakpak Dairi adalah suku yang paling setia kepada Raja Sisingamangaraja XII terutama Parlilitan (Kelasen),  Simsim (Kerajaan dan Salak), Keppas (Sidikalang) dan Boang (Singkil) terbukti selama dua puluh tahun Sisingamangaraja XII melakukan perang gerilya di segenap pelosok tanah Pakpak - Dairi, tidak pernah terdengar melakukan tindakan pengkhianatan.

Rakyat Pakpak-Dairi yang fanatik dan heroik untuk pertama kali berkenalan dengan ekspedisi tentara Belanda yang datang dari arah Barus pada tahun 1878, semasa perlawanan Sisingamangaraja XII masih dipusatkan sekitar kawasan Toba. 

Kedua berhadapan dengan ekspedisi Overste van Daalen yang menerobos sampai Bakkara dari Takengon Aceh Tenggara ke Sidikalang pada tahun 1904. Ekspedisi tersebut kemudian melakukan kekejaman yang biadab terhadap rakyat Pakpak dan Gayo-Alas dan Bakkara dengan meletuskan meriam lebih dari 100 kali. 

Ketiga, pada tahun 1905 berhadapan dengan ekspedisi tentara Belanda pimpinan kapten Colin (bawahan Overste van Daalen). 

Keempat, yaitu berhadapan lagi dengan ekspedisi kapten Christoffel.  Kapten Christoffel  tahun 1907 berbulan-bulan mencari dan memburu Raja Sisingamangaraja XII beserta keluarganya dan  pasukannya. Akan tetapi tidak pernah berhasil, karena kewaspadaan dan kesetiaan rakyat Pakpak-Dairi. 

Baru pada 17 Juni 1907  Raja Sisingamangaraja XII, dapat disergap di Pearaja Dairi. Hal itu akibat pengkhianatan masyarakat non-Pakpak-Dairi, yang datang membantu tentara Belanda dari suatu tempat dekat Bakkara dan tidak jauh  dari Siborong-borong.  Tidak terkira betapa banyaknya korban jiwa dan harta rakyat Pakpak-Dairi selama lebih kurang dua puluh tahun menghadapi agresi tentara Belanda.

Para pertaki dan raja-raja Pakpak turut serta melakukan perlawanan bersama Sisingamangaraja XII dan pasukannya, karena pasukan Belanda kerap kali mencari dan melakukan penyerangan. 

Bersama atau tidak bersama Sisingamangaraja XII perlawanan orang Pakpak terus dilakukan.  Suratnya yang ditujukan kepada raja-raja di Keppas terlihat ajakan untuk berperang melawan Belanda. Salah satu surat yang dikirimkan oleh Sisingamangaraja XII  ketika para raja-raja Pakpak merasa kehilangan komunikasi berbunyi demikian: 

“Kami surat dari Sutan Nagari dari Pea Radja Dairi, kepada sekalian raja-raja di Keppas. Kamu sekalian adalah setia ber-raja. Sekatalah kamu sekalian raja-raja Pakpak untuk berperang melawan Belanda. Bunuhlah Belanda. Aku mendengar bahwa kamu sekalian menyesali aku karena tidak mengirim surat kepada kalian. Sekarang saya sudah kirim surat. Bunuhlah serdadu. Sekian.”

Surat itu memperlihatkan  bahwa dengan atau tanpa kehadiran Sisingamangaraja XII, perlawanan terhadap Belanda tetap dilakukan oleh orang Pakpak. Sisingamangaraja XII sendiri sangat mengakui loyalitas dan semangat juang orang Pakpak. Kesetiaan itulah yang barangkali menyebabkan dia merasa aman berada di tanah Pakpak untuk mencari perlindungan sekaligus merencanakan  perang gerilya ke daerah Toba.

Pada rapat para Pertaki Pakpak yang dihadiri oleh Sutan Nagari dan Patuan Anggi yang diperuntukkan bagi pengaturan strategi perlawanan terhadap Belanda diperoleh kesepakatan sebagai berikut : 

1. Mempertahankan daerah Simsim dengan mengorbankan segala apa yang ada. 

2. Tempat Baginda (maksudnya Sisingamangaraja XII) dirahasiakan. 

3. Rakyat tidak akan bekerjasama dengan Belanda 

4. Pertanian dipergiat.

Hasil permusyawaratan itu merupakan persumpahan, bahkan disahkan secara adat Pakpak dengan memotong dua ekor kerbau. Seekor di daerah Salak dan seekor lainnya untuk daerah Kepar Kombih. 

Dengan adanya sumpah setia itu, maka tidak heran jika panglima-panglima Sisingamangaraja XII tidak saja berasal dari Tapanuli, tetapi juga Pakpak dan Aceh. 

Dua yang tersohor adalah Singket Berutu dan Rogong Banurea. Keduanya direkrut bukan pada saat persembunyiannya di tanah Pakpak, melainkan dalam perlawanan-perlawanannya di wilayah Tapanuli. Mereka sudah terlibat dan menjadi Panglima penting dalam perjalanan Sisingamangaraja XII. 

Selain dua orang Pakpak, terdapat lima orang Aceh yakni Tengku Muhammad, Teuku Nali, Tengku Imun, Tengku Ben, dan Teuku Harun. Beberapa pengikut setia Sisingamangaraja antara lain adalah; Pagit Banurea, yang pekerjaannya adalah  berjualan sayur. Terdapat pula Ronggur Bancin, sebagai orang yang menemukan tempat persembunyian yang strategis di Bungus. Tempat itu menjadi lokasi persembunyian Sisingamangaraja XII yang sulit dicari dengan tangga bambu yang bertingkat-tingkat. 

Bupati Pakpak Bharat, Franc Bernhard Tumanggor mengajak Danrem 023/KS, Kolonel Inf Jansen P Nainggolan, M.Sc mengunjungi Mata Air Peninggalan Raja Sisingamangaraja XII di desa Salak II, kecamatan Salak, Pakpak Bharat. Perjalanan ini dilaksanakan dalam kunjungan silaturahmi Danrem 023/KS ke Rumah Dinas Bupati Pakpak Bharat sekaligus mengenang perjuangan Raja Sisingamangaraja XII di tanah simsim.

Di lokasi Mata Air yang diyakini tidak pernah kering ini, Danrem 023/KS bersama Bupati melihat-lihat kondisi Mata Air yang pernah dipergunakan oleh Raja Sisingamangaraja XII untuk menunjang perjuangannya melawan penjajah Belanda. Bupati bersama Danrem juga berdialog dengan masyarakat sekitar, mengenai keberadaan mata air dimaksud.

Dimasa perjuangannya melawan penjajah Belanda, Raja Sisingamangaraja XII pernah menjadikan tanah simsim sebagai basis perjuangan. Bersama para pejuang dari tanah Pakpak, Aceh dan daerah lain yang terus setia menjaganya, mereka membangun benteng pertahanan di dusun Sumbul, desa Traju, bersembunyi dari kejaran pasukan belanda hingga 20 tahun lamanya.

Di Simsim Sisingamangaraja XII juga memiliki seorang istri yang bernama Tenna berru Berutu yang berasal dari Desa Pengegen yang menjadi istri dari Sisingamangaraja XII ke 6. 

Bersama para pejuang asli tanah Pakpak, Sisingamangaraja XII mampu bertahan selama bertahun-tahun, memanfaatkan kondisi geogerafis tanah simsim berupa hutan dan pegunungan yang sulit, serta keunggulan pemahaman medan. Raja Sisingamangaraja XII diketahui meninggal terkena tembakan pasukan belanda dalam sebuah pertempuran yang menentukan dengan pasukan marsose, pasukan elite anti gerilya belanda pada 17 juni 1907 usai menolak untuk menyerah, ditepian sungai aek sibulbulon, desa Sionom Hudon, Parlilitan ( sekarang Kabupaten  Humbang  Hasundutan). 

Toba menjadi anak emas Belanda karena terbukti loyal dalam mendukung Belanda dan menerima misi zending secara terbuka. Hal itu karena zending menggunakan pendekatan kesehatan terhadap masyarakat Toba yang sedang mengalami wabah kolera. 

Beberapa di antara pemimpin Toba mengharapkan berbagai keuntungan dari pemerintah Belanda.  Pemimpin lainnya merasa takut bahwa mereka akan kalah bersaing dalam memperoleh keuntungan dari kekuasaan baru  yang  memasuki hidup mereka.

Pakpak (Dairi)  menjadi kurang beruntung karena sejak awal menjadi pihak  yang membantu Sisingamangaraja XII dalam pelarian dan persembunyiannya sambil melakukan perang gerilya melawan Belanda   selama 20 tahun, sejak  Bakkara dibumihanguskan oleh Belanda pada 1887 sehingga Sisingamangaraja XII pindah ke Tanoh Pakpak sampai kemudian gugur pada 1907. 

Dalam pandangan Pemerintah Kolonial ada kesan  bahwa Tanoh Pakpak (Dairi) dianggap sebagai daerah yang masih rawan, gelap dan penyembah berhala sebagai pendukung utama Sisingamangaraja XII, sehingga perlu ada penanganan khusus dalam kepatuhannya kepada pemerintah kolonial Belanda. 

Lalu pada saat ini, orang hanya mengenal Sisingamangaraja XII sebagai pahlawan dari Tanah Batak, padahal sejatinya perjuangan Sisingamangaraja XII lebih banyak berada di tanoh Pakpak Dairi, dan yang menyediakan semua perbekalan dan logistik adalah para pertaki dan raja-raja Pakpak. 

Salam Literasi Yang Mengedukasi 

Referensi: 

1. Batara Sangti (Ompu Buntilan Simanjuntak), Sejarah Batak,  (Medan: Karl Sianipar Company, 1977). 

2. Adniel Lumbantobing, Sedjarah Sisingamangaraja I-XII, (Radja Jang Sakti, /Pahlawan Jang Gagah Perkasa). (Tarutung: Dolok Martimbang, 1959). 

3. Sisingamangaraja bergerilya selama periode 1887 - 1907

4. Castles, Lance, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli (1915-1940), KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) kerjasama Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, Jakarta, 2001. 

#sejarahindonesia

#sejarahlokal

#sejarahnuaantara

#sejarahlokalpakpak

#pakpaksilimasuak

#pakpakbukanbatak

#sejarah

Share:
Komentar

Berita Terkini