Dilema Jurnalis Kini:Uang,Etika dan Hilangnya Independensi Media

Editor: Admin author photo
Dilema MEDIA di Indonesia sedang berada di titik paling rapuh dalam sejarah pasca-Reformasi.
 Runtuhnya kepercayaan publik terhadap media di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari fenomena delegitimasi sistematis terhadap institusi pers, penyebaran disinformasi oleh elite politik, serta upaya menjadikan media sebagai institusi yang kontra dengan publik.

Hirst (2022) dalam Journalism Ethics at the Crossroads menyebut bahwa “the old paradigm of journalistic practice was no longer fit for purpose”, karena media dinilai gagal merespons krisis multidimensi secara proporsional seperti pandemi COVID-19, konflik rasial, dan disinformasi politik secara bermartabat dan etis.

Refleksi ini menemukan cerminnya dalam lanskap media di Indonesia. Di tengah polarisasi politik dan tekanan ekonomi, banyak media kehilangan daya tawar editorialnya.

Ketika media arus utama mencoba bersikap kritis terhadap kekuasaan, mereka kerap dilabeli sebagai partisan, anti-pemerintah, atau bahkan agen asing.

Dalam konteks ini, tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa etika jurnalisme hari ini bukan hanya ditentukan oleh kode etik, tapi oleh siapa yang membayar gaji para jurnalisnya, siapa yang mendanai newsroom dan bagaimana pengaruhnya terhadap akuntabilitas etis jurnalisme.

Di sisi lain, media yang terlalu dekat dengan pusat kekuasaan pun justru kehilangan kepercayaan dari publik karena dianggap tidak lagi independen.

Ketika batas antara relasi bisnis dan agenda politik semakin kabur, kredibilitas redaksi kian tergerus. Situasi ini diperparah oleh tekanan finansial yang membuat banyak media memilih bertahan secara komersial, alih-alih mempertahankan integritas jangka panjang.

Dalam waktu bersamaan, muncul hegemoni media sosial sebagai kanal informasi utama publik. Media arus utama tidak hanya bersaing di antara sesama mereka, tetapi juga harus berkompetisi secara brutal dengan algoritma medsos yang menawarkan kecepatan, sensasi, dan personalisasi.

Publik kini tidak lagi bergantung pada media untuk mendapatkan berita, mereka bisa langsung ke Twitter, TikTok, atau WhatsApp.

Ironisnya, media sering hanya mampu berkata “jangan termakan hoaks,” tanpa mampu menawarkan alternatif yang lebih relevan dan mendalam.

Akibatnya, media tertinggal dalam kontestasi kepercayaan dan terengah-engah di pasar informasi yang semakin dikendalikan oleh platform digital global.

Di tengah tekanan ekonomi, disrupsi digital, dan ketergantungan terhadap iklan pemerintah, perusahaan media harus memilih antara bertahan hidup secara komersial atau menjaga misinya sebagai pengawal kepentingan publik.

Namun, di antara dua kutub itu, yang paling terdampak adalah para pekerja medianya, yakni para jurnalis, editor, dan staf redaksi yang kini hidup dalam kondisi tanpa kepastian.

Mereka telah menjadi bagian dari kelas sosial baru yang disebut precariat, pekerja tanpa jaminan kerja, tanpa perlindungan...(+++ Bersambung .)

Penulis : Dr Jannus TH Siahaan

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan(*)

Share:
Komentar

Berita Terkini